Baru-baru
ini kita mendengar kasus Papua memanas kembali. Serentak opini dan psikologi
publik berkembang bahwa pelakunya adalah gerakan separatis bersenjata yang
dikenal dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Tetapi,
disadari atau tidak, nama OPM relatif tidak mengemuka akhir-akhir ini. Mengapa
? Itu karena penggunaan istilah Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang
digunakan oleh Polri dan dikutip media-media mainstream nasional sehingga
terdapat pesan subliminal yang menenggelamkan nama atau peran OPM.
Penggunaan
istilah KKB ini ibaratkan euphimisme bahasa atau penghalusan bahasa yang
efeknya tidak main-main : mendegradasi unsur ideologi dan politik menjadi
sekedar kriminal biasa. Sehingga sebagaimana mengutip kata KASAD, “Selama masih
disebut KKB, TNI tidak bisa bergerak.”
Efek
kedua, penggunaan istilah KKB ini telah menggeser kasus Papua hanya menjadi
kasus kriminal biasa, sehingga militer Indonesia tidak dapat turun tangan,
karena aspek kriminal adalah memang domainnya Polri.
Efek
ketiga, mendudukkan kasus Papua menjadi istilah KKB juga telah mereduksi aspek
geopolitik internasional bahwa gerakan bersenjata di Papua telah disokong
beberapa negara asing, terutama Australia, dan telah menjadi bagian dari skema
Proxy War di wilayah Pasifik-Melanesia.
Padahal
apabila kita jujur menelisik karakter dari gerakan bersenjata di Papua, sangat
jelas mereka tidak tepat didudukkan sebagai bandit biasa yang hanya
berorientasi uang atau materi. Yang membedakan antara bandit dengan gerakan
separatis adalah adanya ideologi. Ideologinya adalah sentimen ras Papua yang
menginginkan kemerdekaan negara berdasarkan ras, yaitu Papua. Sehingga dengan
itu, mereka berani angkat senjata memberontak pada pemerintahan yang sah, yaitu
NKRI. Sementara bandit, walaupun sama-sama menuntut uang katakanlah, tetapi
bandit tidak memiliki tujuan yang lebih menasional. Duit adalah tujuan
finalnya, itulah bandit.
Maka
patut dipertanyakan, kenapa Polri bersikeras dan begitu yakin dengan penggunaan
istilah KKB pada kelompok separatis yang memiliki ideologi bertentangan dengan
Pancasila dan nyata-nyata memberontak pada pemerintahan yang sah.
Seolah
Polri membutakan diri dari aspek ideologis gerakan bersenjata yang mereka
hadapi sekarang di Papua. Dan ini pun patut dipertanyakan, bagaimana pembacaan,
pemetaan (mapping) dari Kepolisian
sehingga aspek ideologis tersebut tidak dicantumkan atau tidak dianalisa?
Ini
seperti hendak menghilangkan bau bangkai di dalam rumah, tetapi dengan cara
menyemprotkan pewangi ke dalam ruangan sementara bangkainya tidak pernah
disingkirkan. Menghadapi gerakan separatis bersenjata tetapi menganggapnya
hanya kelompok kriminal bersenjata, sama saja membiarkan bangkai tetap ada di
dalam rumah Indonesia. Dan masalah pun terus berlarut panjang tanpa pernah
selesai, bagaikan runtuian episode-episode dalam sinetron televisi.
Jika
gerakan bersenjata di Papua didudukkan sebagaimana mestinya, yaitu bahwa mereka
adalah gerakan separatis yang mempunyai ikatan ideologis dan cita-cita politik,
maka SOP penanganannya pun akan berbeda. Disinilah TNI hadir sebagai salah satu
ujung tombak menjaga keutuhan NKRI.
***
Foto : Istimewa
Penulis : Ahmad
Sumber : Media Hankam
***
Foto : Istimewa
Penulis : Ahmad
Sumber : Media Hankam