Kapendam V/Brawijaya : Indonesia Memasuki Era Perang Generasi 4

Internet backbone traffic
Infokomando - Jika dulu perang lebih mengandalkan jumlah pasukan dan persenjataan, sekarang sudah tidak lagi. Seiring dengan perkembangan jaman dan teknologi, cara manusia berperang mengalami pergeseran tidak lagi menonjolkan hard approach (pendekatan keras) yang didominasi penggunaan kekuatan militer tapi lebih pada soft approach (pendekatan halus) dengan memaksimalkan peran ekonomi (investasi), sosial, budaya, ideologi dan politik. Perang jenis ini oleh para pakar dikategorikan sebagai perang generasi 4. Bila digambarkan pada kondisi Indonesia saat ini, perang generasi 4 sudah terjadi dimana negara-negara besar sedang berebut pengaruh untuk menguasai sumber daya alam Indonesia.

Begitulah gambaran perang generasi 4 yang dipaparkan oleh Kapendam V/Brawijaya Kolonel Inf Singgih Pambudi Arinto saat menjadi Keynote Speaker dalam acara Seminar Media Sosial dan Ketahanan Nasional, Senin (14/5) di gedung Universitas Merdeka Malang.
Kolonel Singgih Pambudi Arinto di Ummer
Kapendam V/Brawijaya Kolonel Inf Singgih Pambudi Arinto menerima cinderamata dari Rektor Unmer Malang Prof. Dr. Anwar Sanusi, SE.,M.Si usai memberikan pemaparannya
Dalam penjelasannya, Proxy War yang sering didengung-dengungkan merupakan bagian dari perang generasi 4 dimana dalam prakteknya tidak ada keterlibatan militer secara langsung.

"Indonesia bisa dikatakan masih jauh dari kata invansi, tapi jika diserang secara tak kasat mata iya. Serangan ini bisa berbentuk kebudayaan, sosial, ekonomi dan sebagainya, jadi harus diantisipasi" ungkapnya dihadapan para pejabat TNI yang hadir pada acara tersebut.

TNI sebagai kompartemen pertahanan memiliki tugas dan tanggung jawab yang tidak ringan dan dituntut harus mampu beradaptasi dengan ancaman yang terus berkembang dan berevolusi semakin canggih serta tak terlihat.

Menurut orang nomor satu di penerangan ini, perang generasi 4 tidak mengenal medan dan dapat terjadi dimana saja serta bisa melibatkan siapa saja.

"Jika dulu perang didominasi oleh negara besar, dengan perang generasi 4 ini siapapun bisa terlibat bahkan negara kecil sekalipun bisa mengalahkan negara besar karena tidak berhadapan secara langsung" terangnya.

Kolonel Singgih juga menjelaskan, jika Media sosial merupakan salah satu produk kecanggihan teknologi yang dijadikan alat untuk menggelar perang generasi 4. Dengan kecanggihan yang dimiliki media sosial, manusia bisa saling terhubung dengan mudah terutama dalam mengakses informasi. Namun jika tidak hati-hati dalam memfilter, informasi yang diterima dapat berubah menjadi alat yang bisa mendestabilisasi keamanan dan berpengaruh pada ketahanan nasional.

"Masyarakat harus diedukasi mengenai bahaya hoax dan cara mengenalinya, jika tidak masyarakat akan menjadi bagian dari penyebaran informasi bohong yang tidak bisa diklarifikasi kebenarannya" jelasnya.

Kolonel Singgih kemudian mencontohkan beberapa negara yang berperang karena isu (hoax) seperti konflik Irak dengan Kuwait, perang Prussia dengan Prancis, perang AS dengan Vietnam dan sebagainya.

Beberapa peristiwa SARA yang terjadi di Indonesia sendiri menurut Kolonel Singgih juga tidak lepas dari penyebaran hoax yang disebar kelompok tertentu ditengah masyarakat sehingga terjadi konflik sosial, seperti konflik Sambas, Poso, Sampit dan Ambon.

"Untuk mencegah hoax agar tidak meluas maka masyarakat harus memperkaya literasi informasi, melakukan kroscek untuk keakurasian informasi dan harus tahu sangsi hukum yang akan diterimanya jika informasi yang disebar tidak benar" ungkapnya dihadapan para peserta seminar.

***
Foto : Istimewa / Pendam V/Brw
Penulis : Arsen
Sumber : Infokomando